Kaleidoskop Teknologi 2015


Tahun 2015 akan segera meninggalkan kita. Beragam kisah telah hadir di tahun ini, baik di dunia software maupun hardware. Karenanya, kami merangkum beberapa teknologi penting yang terjadi di 2015.

Seperti biasa, bulan Desember menjadi waktu yang tepat untuk melakukan reļ¬‚eksi terhadap apa yang telah terjadi setahun belakangan. Begitu juga dengan dunia IT, selama setahun terakhir beberapa rangkaian teknologi baru bermunculan. Kami menyajikan beberapa informasi seputar teknologi yang cukup memorable yang terjadi sepanjang tahun 2015.

Popularitas Android L

Seperti yang diketahui sebelumnya, Google selaku pengembang utama Android selalu berusaha memberikan upgrade OS Android per 6 bulan sekali. Tepat pada November 2014, versi terbaru Android kala itu, Android Lollipop dirilis. Tentunya, seperti upgrade Android sebelumnya, penetrasi Lollipop cukup lambat karena masih sedikit smartphone yang menjalankan Lollipop hingga awal 2015.

Hal tersebut teratasi di tahun 2015. Seiring berjalannya waktu. Lollipop semakin banyak digunakan. Ada dua jalur yang ditempuh vendor smartphone, yakni menyediakan upgrade OTA (over the air) untuk lini smartphone kelas menengah ke Atas, atau menyediakan smartphone baru di segala lini dengan Lollipop selaku OS-nya. Jalan mana pun yang diambil terbukti telah membuat Lollipop menjadi populer di tahun 2015.


Popularitas Lollipop sendiri didukung dengan aware-nya pengguna Android terhadap Android. Berbeda dengan upgrade lain yang biasanya lebih banyak mengubah sistem core Android, di Lollipop kali ini sisi tampilan juga mendapat perhatian khusus. Adanya "Material Design" menjadi pembeda antara Lollipop dan versi Android sebelumnya. Jika Android sebelum Lollipop lebih suka bermain dengan warna gelap, pada sistem operasi Lollipop, warna cerah dengan gradasi begitu indah menghiasi smartphone Anda. Kami sendiri beropini bahwa baru di Lollipop ini stock Android terlihat menawan. Sedangkan di sisi core-nya, Lollipop telah resmi menjadi Android pertama yang menggunakan ART (Android RunTime), menggantikan Dalvik VM. Lollipop juga menjadi versi Android pertama yang mendukung komputasi 64 bit.

Per November 2015, Google mencatat terdapat 25.6% pengguna Android yang menggunakan Lollipop. Kitkat masih merajai dengan 32.8% dan disusul oleh Jelly Bean dengan 29%. Edisi terbaru Android, Marshmallow ada di angka 0,3% dan kami memprediksi Android 6.0 ini akan booming di tahun selanjutnya, layaknya yang pernah terjadi pada Lollipop sebelumnya.

Pelopor RAM 4 GB di Android

Ada hal menarik yang terjadi di dunia Android. Para vendor seakan tak kehilangan akal dalam merebut pangsa pasar di tengah ramainya persaingan smartphone Android. Setelah bersaing ketat di aspek jumlah core prosesor, persaingan memasuki dimensi baru, yakni di besaran RAM. Ya, jika di tahun 2014 RAM 2 GB sudah terbilang "wah", di tahun 2015 beberapa vendor menaikkan standar atas yang baru dengan merilis smartphone RAM 4 GB.

Jika melihat ke belakang, Android versi awal dapat berjalan optimal di RAM 128 MB atau 256 MB. Namun sekarang, 1 GB menjadi batas "aman". Sedangkan untuk mencapai level lancar, 2GB menjadi jawabannya. Lalu, mengapa harus 4 GB?

Pada dasarnya, Android merupakan OS yang menggunakan kernel Linux. Kernel itu sendiri yang menjembatani OS dengan hardware. Berbeda dengan kernel lainnya, Linux memiliki mekanisme cache yang cukup agresif. Karena kecepatan akses data di RAM jauh lebih tinggi daripada di storage, Linux akan mengisi RAM dengan data yang sering diakses, selama terdapat ruang kosong di RAM.


Karena itu, dengan kapasitas RAM yang besar berarti semakin banyak pula data yang bisa di-cache. Ini pula yang dimanfaatkan Android dengan RAM besar. Pada akhirnya, aplikasi yang sering digunakan akan selalu disimpan di RAM akan membuat multitasking menjadi lebih nyaman. Selain itu, pergantian antar aplikasi (app) akan berjalan dengan mulus. Jika Anda penasaran, silakan periksa Android Anda, berapa banyak app yang di-cache oleh Android.

Di tahun 2015, Asus menjadi yang pertama merilis smartphone dengan RAM 4 GB. Dipadukan dengan SoC Intel Moorefield 22 nm, smartphone yang dinamakan Asus Zenfone 2 tersebut mencuri perhatian dunia ketika dirilis. Selain faktor RAM, harga jual yang tergolong "murah" untuk kelas premium menjadi faktor lainnya. Tak lama setelah itu, semakin banyak vendor yang merilis smartphone dengan RAM 4 GB di tahun 2015.

Generasi 64-bit dan ARMv8

Hadirnya RAM 4 GB di Android bukan hanya karena perkara cache. Namun, untuk memanfaatkan teknologi terbaru lainnya, yakni prosesor ARM 64-bit. Jika di kelas x86 prosesor 64 bit telah ada sejak jaman Windows XP berjaya, di ARM kemunculannya baru terjadi karena Android itu sendiri. Dari awal, ARM biasanya hanya digunakan untuk spesific purpose machine, berbeda dengan x86 yang general-purpose. Siapa sangka dengan populari-tas Android, ARM menjadi lebih general-purpose, sehingga kapabilitas 64 bit menjadi relevan untuk direalisasikan.

Mengapa ARM butuh kapabilitas 64-bit? Akses ke memory atau RAM yang lebih besar. Prosesor 32-bit hanya mampu akses RAM di bawah 4 GB. Dengan Android yang semakin kompleks, kebutuhan RAM yang makin besar semakin tidak terelakkan. ARM Holdings selaku pemilik paten ARM menjawabnya dengan merilis arsitektur ARMv8, dengan 3 prosesor terbarunya yang dinamai Cortex A72, Cortex A57, dan Cortex A53.


Oleh produsen SoC, prosesor-prosesor tersebut dibungkus bersama modul-modul lainnya (seperti image processor, WiFi, dan modul konektivitas seluler), sebelum ditanamkan di smartphone. Dari ketiga varian tersebut, hanya A72 yang belum digunakan hingga artikel ini ditulis. Sedangkan A53 banyak ditemukan di smartphone kelas menengah. Qualcomm Snapdragon 410 menjadi contoh SoC yang mengandung A53. Sedangkan A57 sendiri banyak ditemui di varian smartphone premium dan digabung dengan A53 membentuk konfigurasi quad core dengan teknologi big.LITTLE (4 core A53 + 2 atau 4 core A57). Snapdragon 808 dan 810 menjadi sebagian contohnya.

Teknologi Layar di Genggaman Tangan

Selain prosesor dan RAM, lalu apa? Tentu saja layar. lni yang paling mudah terlihat. Daya tarik yang dapat dijual di sini adalah resolusi yang diusung dan keberadaan layar pendamping. Layar pendamping? Ya, beberapa smartphone premium telah dilengkapi dengan layar kecil yang menampilkan informasi yang berbeda dengan layar utama.


Yang paling terkenal adalah seri Edge buatan Samsung. Layar kecil di samping (yang disebut Edge) dapat digunakan untuk menampilkan notifikasi dari app favorit, sementara layar utama menampilkan app utama yang sedang Anda gunakan. Selain seri Edge, ada juga solusi layar pendamping yang sedikit berbeda dari LG, yang diterapkan pada LG V10. Di smartphone ini, layar pendamping berada tepat di atas layar utama. Tujuannya serupa dengan Edge. Jadi, Anda tetap dapat memantau notifikasi dari app favorit sambil menjalankan fullscreen app di layar utama.

Bagaimana dengan resolusi? Mayoritas vendor smartphone setuju bahwa 1080p adalah standar. Namun, mengapa puas dengan Full HD? Setelah LG G3 menggebrak dunia dengan resolusi quad HD (1440p) di tahun lalu, lantas siapa yang kali ini menjadi pembeda? Adalah Sony dengan Xperia Z5 Premium yang menjadi pumbeda di segmen rusolusi layar dengan klaim "Smartphone pertama dengan layar 4K". Smartphone yang dirilis akhir November 2015 ini memiliki dimensi layar 5,5 inci, sehingga kerapatannya menjadi 806 dpi. Nilai ini jauh melebihi para pesaingnya.


Tentu saja, drawback yang harus dihadapi adalah pekerjaan prosesor dan GPU yang lebih berat, selain tentunya mengonsumsi daya baterai lebih banyak dibanding resolusi lain yang lebih kecil. Apakah Anda dapat membedakan densitas setinggi itu dibanding yang telah banyak beredar (sekitar 300 hingga 500-an dpi)? Untuk saat ini, kami sendiri merasa resolusi setinggi itu terlalu berlebihan, namun mungkin akan terasa manfaatnya ketika VR di Android semakin umum.

Windows 10, Gratis!

Anda pecinta Windows 7 namun tidak menyukai Windows 8/8.1 karena interface-nya yang berubah secara radikal? 2015 adalah tahun yang baik, karena Microsoft merilis Windows 10 selaku suksesor Windows 8.1. Ada apa dengan Windows 9? Mungkin Microsoft sengaja melewatinya karena pernah merilis edisi identik di tahun 90-an dahulu.

Secara tampilan, Windows 10 merupakan gabungan Windows 7 dan Windows 8. Tampilan Start Menu kini lebih menyerupai Windows 7, dengan beberapa konten berbasis tile layaknya Windows 8. Aplikasi yang dapat diinstal dari Windows Store semakin banyak dan dijalankan layaknya desktop application, tidak lagi fullscreen layaknya Windows 8.


Secara umum, dari segi UI Windows 10 merupakan perbaikan dari Windows 8 atau 8.1 sekali pun. Namun, yang membuat Windows 10 lebih menarik adalah Microsoft memberikan akses upgrade gratis hingga setahun sejak Windows 10 dirilis. Akses gratis ini diberikan kepada pemilik lisensi resmi Windows 7 atau Windows 8.1, edisi apa pun itu.

Masih tidak tertarik? Jika Anda gamer, kehadiran DirectX 12 di Windows 10 menjadi senjata utama Microsoft untuk menarik perhatian Anda. Sebagai API yang lebih "low-level", kehadiran DirectX 12 bisa menjadi batu lompatan dalam desktop gaming.

Dari Yosemite ke El Capitan

Seolah tidak mau kalah, Apple selaku pesaing Microsoft di OS x86 juga merilis upgrade terbaru mereka, dan tentunya gratis. Dengan melakukan upgrade, OS X Anda akan berubah dari Yosemite (10.10) ke El Capitan (10.11). Aturan penamaan masih mengikuti edisi sebelumnya, di mana merujuk ke landmark yang ada di Kalifornia, AS.

Dirilis akhir September 2015, pungguna OS X Yosemite dapat mengunduh El Capitan via App Store. Proses upgrade sendiri akan berjalan dengan sendirinya, dan memakan waktu yang cukup singkat jika perangkat Mac Anda mumpuni.


Beberapa perubahan yang dibawa antara lain Split View, yang memudahkan pembagian layar untuk dua aplikasi sekaligus. Selain itu, Apple juga menggunakan font baru yang dinamakan San Francisco sebagai typeface di UI El Capitan. Tampilan secara keseluruhan tidak banyak berubah dibanding Yosemite.

Perubahan lainnya lebih kepada perbaikan atau penambahan fitur dari berbagai aplikasi bawaan pada Yosemite. Selain itu, Apple sendiri mengklaim dengan El Capitan, pengguna dapat mengharapkan performa lebih balk (dari Yosemite) dalam hal membuka aplikasi hingga 40%. Pengalaman kami menggunakan El Capitan di Macbook Pro (Early 2015) sejauh ini positif, dengan boot time yang cepat dan multitasking yang minim gangguan. Dukungan split view yang banyak ditunggu (Windows telah lama memiliki kemampuan ini) semakin menambah kenyamanan dalam menggunakan OS X.

Invasi Mini PC

Kita semua setuju bahwa masa-masa PC berukuran "raksasa" telah usai. Kini bahkan smartphone dapat melakukan komputasi sederhana seperti browsing, baca dan edit dokurnen. Walau begitu, penggemar PC masih tetap setia karena ada beberapa kelebihan PC yang tidak dimiliki platform lain, salah satu nya perforrna.

Melihat hal itu, beberapa vendor menciptakan segmen mini PC, paduan antara performa sekelas atau mendekati PC dengan ukuran yang kecil. Kecil berarti lebih kecil dari form factor mini ITX. Beberapa bahkan ada yang seukuran smartphone sehingga dapat disisipkan di saku.


Di 2015, terdapat beberapa mini PC yang cukup menarik perhatian. Sebagian besar diperkuat oleh prosesor Intel kelas hemat energi. Jika di tahun sebelumnya lntel sempat menggebrak dengan Intel NUC, di 2015 Intel menawarkan solusi yang lebih "wah" lagi, yaitu Intel Compute Stick. Ya, melalui produk tersebut Intel membuktikan bahwa PC dapat disusutkan menjadi sekecil USB drive. Dengan ujung berupa HDMI, Anda dapat mengubah monitor biasa menjadi sebuah PC yang fungsional. Untuk OS, Compute Stick mendukung Windows dan Ubuntu.

Vendor lain pun seperti tidak mau ketinggalan, di antaranya Lenovo dan Asus. Asus sedikit berbeda karena menggunakan prosesor ARM dan menjalankan Chrome OS. Tentu saja, harga jualnya menjadi lebih rendah dibanding compute stick berbasis Intel.

USB 3.1 dan Type-C

Belum lagi USB 3.0 menjadi standar, USB 3.1 sebagai suksesornya dirilis di 2015. Fitur andalannya adalah kecepatan transfer data yang semakin cepat, mampu mencapai 10 Gbps. Dengan kecepatan tersebut, external SSD akan semakin relevan untuk digunakan.

Walau begitu, bukan fitur tersebut yang disambut antusias. Melainkan daya yang dapat disalurkan oleh USB 3.l , yang mana dapat mencapai 100 W, jauh lebih besar dibanding USB 3.0 atau bahkan USB 2.0. Dengan begitu, pengecasan perangkat berbasis USB (seperti tablet) akan berlangsung lebih cepat. Bahkan, laptop dapat dicas menggunakan USB 3.1, seperti yang ditunjukkan Apple di Macbook Air terbarunya.


Di produknya tersebut, Apple hanya menyertakan 1 port USB 3.1, tanpa ada port pendamping. Uniknya, ukuran port tersebut berbeda dengan port USB biasa, dan disebut USB Type-C. Dimensinya lebih kecil, dan didesain sedemikian rupa sehingga Anda dapat menghubungkan perangkat USB dalam sekali percobaan.

USB Type-C dan USB 3.1 tidak melulu berdampingan, seperti yang terlihat di perangkat mobile. Sebagai contohnya tablet Nokia N1. Meski telah menggunakan USB Type-C, namun standar yang digunakan masih USB 2.0. Ini karena Type-C lebih kepada form factor, sehingga tidak bergantung pada standar teknologi di belakangnya.

Intel Skylake dan DDR4 untuk Semua

Akhirnya generasi terbaru Intel dirilis September 2015 dengan nama Skylake. Kehadirannya sempat diragukan sesuai jadwal mengingat generasi sebelumnya (Broadwell) tergolong telat hadir di pasaran mengingat kesulitan yang Intel temui ketika menggunakan fabrikasi 14 nm. Cukup mengejutkan memang, karena pada akhirnya jarak rilis antara keduanya (versi desktop) hanya berjarak beberapa bulan dari yang harusnya setahun. Di debutnya, Skylake diwakili oleh 2 SKU kelas atas, Intel Core i7 6700K, dan Intel Core i5 6600K.

Secara performa, keduanya memang tidak memberikan peningkatan yang signifikan dibanding Broadwell maupun Haswell. Namun, setidaknya Skylake membawa 2 fitur andalan, yakni dukungan terhadap DDR4 dan chipset baru bernama Intel Z170. Memang, Haswell-E menjadi yang pertama yang mendukung DDR4, namun masih tergolong eksklusif karena Haswell-E merupakan kelas enthusiast.


Secara default, Skylake mendukung DDR4-2133 dan DDR3L-1600 dengan dua kanal. Tipe memory mana yang digunakan murni bergantung pada motherboard yang Anda pilih. Selain DDR4, Skylake diperkuat oleh chipset baru Z170, di mana chipset tersebut dilengkapi dengan PCIe lane tersendiri demi meningkatkan kinerja storage. Selain itu, chipset Z170 juga membuat overclocking di Skylake menjadi lebih menyenangkan berkat tingkat kontrol frekuensi yang lebih presisi.

Intel Atom Tiru Sang Kakak

Sejak 2008, Intel rnenggunakan penamaan berbasis performa untuk prosesornya: Core i3 untuk kelas bawah, Core i5 untuk kelas menengah, dan Core i7 untuk kelas atas. Penamaan itu cukup sukses membantu konsumen dalam memilih prosesor Intel idamannya. Berangkat dari hal tersebut, Intel coba menerapkan penamaan yang serupa untuk lini Intel Atom terbarunya.

Di 2015, tahun di mana pangsa mobile lebih menggiurkan daripada PC konvensional, Intel semakin serius terjun di pasar prosesor smartphone. Dinamai Intel Atom X series, lini prosesor ini diharapkan bisa memberikan solusi komputasi powerful dengan konsumsi energi yang menyaingi prosesor ARM.


Di penamaan, Intel Atom terbaru menggnnakan nama X3, X5, dan X7. X3 bermain di seklor bawah, dengan pengguna potensialnya berupa gadget low end di kelas harga sejutaan. X5 mengisi sektor menengah dengan pengguna potensial berupa tablet atau smartphone kelas menengah. Sedangkan X7 sebagai pemilik performa tertinggi akan memperkuat perangkat 2-in-1 dengan ukuran layar maksimal 10 inci. Berbicara performa, X7 berada di bawah Intel Core m.

Jika X3 membawa price tag yang rendah, maka X5 dan X7 membawa performa per konsumsi daya yang lebih baik berkat digunakannya fabrikasi 14 nm, seperti yang telah diterapkan di Broadwell. Perbedaan lain juga terlihat di GPU, di mana X3 menggunakan Mali sedangkan X5 dan X7 menggunakan Intel Gen 8 graphics.

Akhirnya, AMD Fiji

Setelah lama dinanti, akhirnya si Merah AMD merilis generasi terbaru GPU-nya di 2015, AMD Rx 300 series. Banyak pihak yang menganggap hadirnya GPU terbaru AMD tersebut cukup telat mengingat saingannya, NVIDIA telah merilis Maxwell setahun lebih awal. Namun, karena terdapat elemen HBM sebagai potential game changer, maka kehadirannya tetap disambut antusias.

Pada nyatanya, sebagian besar GPU baru yang dirilis merupakan rebrand dari generasi sebelumnya, dengan peningkatan di aspek vital seperti core clock, memory clock, dan jumlah VRAM. Sedangkan GPU yang benar-benar baru hanyalah yang menggunakan arsitektur Fiji: R9 Fury, R9 Fury X, dan R9 Nano.


Ketiganya memiliki spesifikasi yang cukup serupa. VRAM yang digunakan cukup "kecil", yaitu 4 GB. Namun, kehadiran HBM menjadi pembeda. Interface memory meningkat menjadi 4096 bit (sebagian besar GPU masih 128-256 bit), berujung pada bandwidth yang lebih tinggi dari GDDR5. Selain itu, HBM memungkinkan modul VRAM ditumpuk (stacked), sehingga dimensi GPU dapat direduksi.

Si Mini dengan Performa Maksimal

Si Mini yang dimaksud ini adalah AMD R9 Nano. Dengan memanfaatkan kelebihan HBM, AMD sanggup memhuat R9 Nano menjadi GPU yang berdimensi kecil namun memiliki performa yang tak kalah dengan full-sized GPU.

Dari segi spesifikasi, R9 Nano nyaris tidak berbeda dengan saudara besarnya. Namun dari segi ukuran, R9 Nano benar-benar sanggup memukau. Sejauh ini, banyak kalangan enthusiast yang menggunakan GPU ini untuk PC mini ITX karena ukurannya tersebut.

Berbicara performa, R9 Nano dapat ditandingkan dengan saudara besarnya, R9 Fury X. Perbedaan di antara keduanya hanya pada core clock GPU, di mana R9 Fury X unggul 50 MHz. Aspek harga keduanya juga sama dan terbilang cukup tinggi sehingga sedikit banyak menurunkan minat calon pembeli.


Di GPU inilah HBM benar-benar dieksploitasi. Dengan ukuran yang tidak jauh berbeda dengan low-end GPU, R9 Nano dapat menjadikan PC mini ITX berkemampuan tinggi layaknya PC yang lebih besar dimensinya. AMD sendiri menyasar GPU ini untuk gaming 1440p, meski 4K masih dapat terjungkau dengan penyesuaian beberapa pengaturan grafis. Sedangkan jika dilihat dari segi konsumsi energi, tampaknya AMD sudah banyak belajar. R9 Nano hanya membutuhkan daya 175 W via 1-pin 6x untuk asupan energinya.

Gaming 4K dengan Single GPU

Apa yang dilakukan NVIDIA ketika AMD merilis lini AMD Rx 300 series? Mereka merilis NVIDIA GTX 980 Ti. Sebuah respon yang tergolong tepat mengingat NVIDIA memposisikan GPU tersebut di atas GTX 980 yang telah meraih sukses setahun belakangan, dan di bawah Titan X. Secara spesifikasi, jelas GTX 980 Ti masih kalah dari Titan X, namun harganya juga jauh kalah sehingga menjadikan GTX 980 Ti sebagai primadona baru.

Hadir dengan spesifikasi yang cukup wah, GPU ini menjadi andalan NVIDIA dalam meredam penetrasi GPU AMD seri Fury X. Meski di beberapa poin spesifikasi terlihat GTX 980 Ti kalah, seperti di memory interface (384 vs 4.096), namun nyatanya secara keseluruhan GTX 980 Ti masih lebih unggul dibanding lawannya di kelas 4K gaming.


Berdasarkan beberapa benchmark, GPU ini memang "beast" di kalangan single GPU. Jika sebelumnya bermain game di 4K membutuhkan konfigurasi dual GPU high-end, maka dengan GTX 980 Ti hal tersebut dapat dilakukan via single GPU. Tentu saja ini sebuah keuntungan mengingat ada beberapa game yang tidak memberikan dukungan dual GPU yang baik.

PC Gamer Arisen!

Tahun 2015 menjadi tahun yang cukup menyenangkan bagi PC gamer. Bagaimana tidak, di tahun ini setidaknya terdapat 3 game kelas AAA yang dirilis setelah dinantikan bertahun tahun lamanya. Ketiganya adalah Grand Theft Auto V, The Witcher 3, dan Fallout 4.

Sajian pertama hadir dari Rockstar. GTA V, begitu nama singkatnya, sempat memukau dunia dengan grafis dan kedalaman variasi permainannya. Dengan kualitas yang dibawa GTA V seakan Rockstar mampu menjawab kritik yang sempat dilayangkan kepadanya akibat berlarut-larut merilis GTA V di platform PC. Kami sendiri sempat mungujinya, dan menilai game ini cukup optimized di PC. Untuk spesifikasi kelas menengah ke bawah sendiri, GTA V dapat berjalan dengan lancar di level grafis medium hingga high.

Game kedua, masih bertema open-world, diciptakan oleh CD Projekt Red. Game ini bercerita tentang perjuangan Geralt of Rivia dalam menemukan dan menyelamatkan Cirilla. Dengan mode permainan hack 'n slash, game ini menawarkan cerita yang memukau, di samping banyaknya aktivitas sampingan yang menarik untuk dieksplorasi.

Game ini juga menawarkan kualitas grafis yang memukau, tentunya jika PC Anda mampu. Kami juga pernah membahas skalabilitas game ini di beberapa GPU dan berbagai level harga. Hasilnya, game ini membutuhkan GPU powerful untuk dapat memuaskan hasrat visual Anda, terutama jika mengaktifkan opsi NVIDIA Hairworks demi simulasi rambut kulit yang lebih nyata.


Satu hal yang kami apresiasi dari The Witcher 3, selain kelebihan yang telah disebutkan sebelumnya, adalah cara distribusinya. CD Projekt Red sebagai publisher The Witcher 3 merilis game tersebut dalam dua versi, yakni DRM dan non-DRM. Opsi terakhir ini yang menuai pujian karena banyak gamer yang tidak menyukai opsi perlindungan anti bajakan dengan DRM yang acapkali menyusahkan. Pada akhirnya, The Witcher 3 memang mudah dibajak, namun nilai penjualannya tetap tinggi. Fakta ini seolah menunjukkan bahwa masih banyak PC gamer yang membeli game original, apalagi jika konten yang ditawarkan memiliki kualitas sebaik The Witcher 3.

Dan game penutup tahun 2015 adalah Fallout 4. Game yang hype-nya perlahan muncul sejak 2013 lalu ini akhirnya dirilis di November 2015. Bahkan ketika Bethesda selaku developer-nya merilis trailer pertama Fallout 4, dunia gaming sempat heboh. Hal ini bukan hanya karena kualitas seri Fallout yang bagus sehingga memiliki banyak penggemar, namun karena seri Fallout terakhir dirilis sudah begitu lama, yaitu 5 tahun yang lalu.

Ketika kami melakukan hands-on, kami cukup terpukau. Kami langsung melakukan komparasi dengan dua seri Fallout terdahulu: Fallout 3 dan Fallout New Vegas. Yang paling terlihat perbedaannya adalah kualitas grafis yang semakin baik dan lebih berwarna.

Selain itu, Fallout 4 juga membawa fitur-fitur baru yang mampu memberikan pengalaman tambahan, bahkan bagi pemain veteran Fallout sekali pun. Dua di antaranya adalah fitur settlement, di mana kita bisa membangun permukiman lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang hidup dan keamanan, serta modifikasi yang mendalam terhadap fitur senjata dan armor.

Wearable Device Semakin Nyata

Jika di tahun-tahun sebelumnya wearable device lebih terlihat sebagai salah satu "imajinasi liar" pecinta teknologi, maka di tahun 2015 imajinasi tersebut menjadi hal yang biasa. Di tahun ini kita dapat melihat banyaknya varian wearable device dari berbagai vendor top dunia. Bentuk yang paling umum adalah jam tangan, karena sejak dahulu dapat dijadikan simbol gaya dan status.

Seperti pasar smartphone, smartwatch juga didominasi oleh 2 kubu, yakni Android dan iOS. Untuk Android, variasinya jauh lebih banyak, karena Apple hanya merilis satu produk jam pintarnya. Fungsi dari jam pintar ini sendiri lebih kepada companion untuk smartphone Anda, bukan sebagai pengganti. Dengan begitu, segala notifikasi yang muncul di smartphone Anda akan langsung Anda ketahui melalui jam yang terpasang manis di pergelangan tangan Anda, sesuai untuk kalangan yang jarang menggenggam smartphone-nya.


Selain jam pintar, perangkat wearable lainnya adalah smartband. Secara bentuk lebih sederhana dari smartwatch, karena biasanya minus layar. Keuntungannya adalah biaya yang lebih murah dan daya tahan baterai yang lebih lama. Sayangnya, smartband tidak diperkuat oleh sistem operasi layaknya smartwatch dengan Android. Contoh smartband yang cukup populer adalah MiBand yang dijual dengan harga Rp300 ribuan.

Sejauh ini, baru kedua jenis wearable tersebut yang banyak digunakan. Namun, hadirnya Intel Edison dalam form factor seukuran SD card dipercaya dapat memperluas pangsa wearable device, yang pada akhirnya saling berintegrasi dengan Internet of Things.


Sumber: CHIP Magazine

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Game Tahu Bulat : Game Lokal yang Geser Peringkat Clash of Clans

FIFA 16 (Android & iOS) Gameplay Menarik dengan Grafis Apik

Upgrade Memory (RAM) di Notebook